Thursday, January 24, 2008

Franchise Based Business

Komparasi dengan Amerika Serikat (Majalah Duit)
Kolom Solusi dari Seberang oleh Jennie S. BevMajalah Duit bulan September 2007
(Artikel di bawah adalah versi asli yang belum diedit.)

Bicara soal franchise, memang Amerika Serikat jagonya. Hampir mustahil tidak melihat franchise-based businesses di sepanjang jalan di lima puluh negara bagian mana pun. Segala macam fast food (macam McDonald’s), pusat kebugaran (berbagai fitness center), toko-toko kelontong murah meriah (macam Seven Eleven), bahkan jasa broker real estate (macam RE/MAX), dan jasa penyiapan pajak perorangan (macam Jackson Hewitt Tax Center dan H&R Block), pasti terlihat dengan mudah dari jalan tol. Undoubtedly, the United States is the franchise capital of the world.

Dari berbagai jenis franchise-based businesses ini, jelas tidak semua biaya awalnya sama. Ada yang ribuan sampai dengan ratusan ribu dollar AS. Ada yang padat teknologi, padat kapital cair, padat karya, sampai dengan padat sistem. Tinggal pilih sesuai dengan keadaan kantong, sumber daya manusia, dan sumber daya lain-lainnya.

Di Indonesia, akhir-akhir ini franchise-based businesses juga sedang marak. Malah ada beberapa jenis bisnis yang tidak bisa dijumpai di Amerika Serikat yang ternyata merupakan bisnis yang cukup menguntungkan dan mudah dijalankan di Indonesia, misalnya toko penjual barang-barang perabotan dapur dan pecah belah yang murah meriah.

Selain itu, tampaknya franchise-based business di setiap negara sangat erat hubungannya dengan keadaan di masyarakat tersebut. Misalnya, di Amerika Serikat, jasa penulisan (atau penyiapan) pajak perorangan merupakan salah satu jenis franchise-based business yang sangat diminati, karena memang setiap orang tanpa pengecualian adalah para wajib pajak. Bahkan Internal Revenue Service (semacam Departmen Perpajakan) sangatlah ditakuti oleh setiap warga Amerika, bahkan jauh lebih ditakuti dibandingkan dengan para polisi. Ada pepatah begini, “Lebih baik pintu diketuk oleh seorang polisi daripada oleh IRS agent.” (Seperti diketahui, sekali tertangkap menggelapkan pajak di negara maju seperti Amerika Serikat, biasanya penalti dan hukumannya tidak tanggung-tanggung, dari ribuan sampai jutaan USD. Sangat mencekik leher, biasanya jauh lebih tinggi daripada jumlah yang digelapkan.)

Tidaklah mengherankan apabila ternyata franchise jasa-jasa penyiapan pajak perorangan sangatlah diminati. Menurut majalah Entrepreneur, franchise ringan biaya nomor satu tahun 2007 adalah Jackson Hewitt Tax Service. “Ringan” biaya tampaknya dari perspektif Amerika, karena membutuhkan biaya awal USD 50 sampai 100 ribu.

Untuk franchise-based business yang membutuhkan biaya awal di bawah USD 20 ribu di daftar 2007 Low-Cost Franchise tersebut adalah Jani-King Commercial Cleaning Service dan Bonus Building Care. Keduanya hanya memerlukan ribuan sampai belasan ribu USD saja. Dan uniknya, keduanya adalah jasa cleaning service, alias pembersihan gedung, kantor, dan rumah.

Kedua jenis bisnis di atas tampaknya kurang begitu diminati di Indonesia, karena dua hal utama.
Pertama, walaupun di era baru ini Indonesia sudah lebih menegakkan perpajakannya, masih banyak sekali warga Indonesia yang belum menjadi wajib pajak karena satu dan lain hal. Juga, mayoritas warga yang berpenghasilan pas-pasan, mungkin dirasakan “kurang manusiawi” untuk ditagihkan pajak. Jadi, bisa dibilang belum begitu menggema kebutuhan akan jasa tersebut.

Kedua, jasa pembersihan gedung, kantor, dan rumah alias jasa professional cleaning service mungkin dirasakan kurang diperlukan karena tampaknya para pemakai jasa ini masih berkumpul di pusat-pusat kota besar saja. Juga, tidak seberapa sulit bagi para pengelola properti untuk mempekerjakan jasa janitor secara langsung, apalagi dengan prinsip “padat karya” yang banyak sekali digaungkan beberapa waktu yang lalu serta dengan tingginya angka pengangguran.

Berbicara soal bisnis pada umumnya di Tanah Seberang, cukup banyak bisnis yang merupakan perpanjangan tangan dari regulasi di mana masyarakat diwajibkan untuk menggunakannya. Dua contohnya adalah jasa broker properti dan jasa asuransi.

Tidaklah mengherankan apabila franchise-based businesses yang berkecimpung di dalam brokering jual-beli properti semacam RE/MAX, Prudential, dan Century 21 sangat maju perkembangannya. Ini disebabkan antara lain karena rumitnya proses jual-beli properti (baik korporat maupun perorangan) di Seberang. Dari proses pengecekan skor kredit (FICO credit score), promosi, appraisal, perpindahan tangan yang melibatkan begitu banyak pihak (escrow, real estate lawyer, county, seller’s agent, buyer’s agent, loan agent, lending bank, dll), hingga penandatangan pemindahtanganannya.

Proses jual-beli properti berbelit-belit demikian sangat memerlukan bantuan dari para broker, sehingga sekali lagi regulasi memberikan insentif bagi para pelaku bisnis, termasuk yang franchise-based. Ini merupakan salah satu contoh yang baik bagi franchise business yang sangat mengandalkan sistem. Formulir-formulir baku dan workflow yang unik bagi bisnis ini merupakan value-added yang sangat diminati oleh para franchisee.

Contoh jelas berikutnya adalah kewajiban mengasuransikan setiap mobil, setiap properti, dan setiap bisnis yang dimiliki oleh seseorang maupun entitas tertentu. Jika di Indonesia mengasuransikan ketiga hal tersebut bukanlah merupakan keharusan, di Seberang ini adalah kewajiban, seperti juga wajib membayar pajak bagi setiap orang yang mempunyai pemasukan, seberapa besar maupun kecilnya.

Ada beberapa latar belakang mengapa asuransi merupakan kewajiban. Salah satu yang paling utama adalah tingginya nilai jiwa manusia, sedemikian tinggi sehingga tidak bisa dinilai dengan mata uang. Misalnya, apabila terjadi kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, maka pihak penyebab harus membayarkan ganti rugi bernilai jutaan USD. Ini hanya bisa dimungkinkan bagi masyarakat berpendapatan sedang dengan mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi yang digunakannya. Tentu saja kewajiban mengasuransikan kendaraan ini tidak wajib bagi mereka yang beraset beberapa juta dollar, namun mereka ini jelas adalah minoritas di dalam masyarakat.

Selama ini bisnis asuransi lebih banyak dijalankan dengan sistem lisensi, bukan dengan sistem franchise, karena memerlukan insurance license bagi pemegang lisensi bisnis asuransi. Bisnis asuransi sendiri merupakan bisnis yang highly regulated karena menyangkut hajat hidup orang banyak. (Ini bisa kita jadikan komparasi karena pada dasarnya franchise business sendiri merupakan salah satu bentuk lisensi.)

Sebagaimana setiap negara mempunyai permintaan (demand) dan iklim bisnis serta hukum (business and legal environments), demikian pula Indonesia dan Negeri Seberang. Franchise-based businesses mempunyai tempat yang berbeda di setiap environment. Jika di Amerika Serikat demand tidak hanya bersifat alami (natural demand), namun ada juga demand yang berasal dari regulasi. Dalam hal ini, franchise-based businesses di Indonesia lebih alami karena lebih terpengaruh oleh pasar dan permintaan dari konsumen. []

Jennie S. Bev adalah periset bisnis dan penulis lebih dari 70 buku elektronik dan cetak di Indonesia, AS, dan Kanada